Dé Céadaoin 30 Iúil 2008

PEMIKIRAN SALAFI

Yang dimaksud dengan “Pemikiran Salafi” di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.

Kriteria Manhaj Salafi yang Benar

Adalah suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut :

1.Berpegang pada nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
2.Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
3.Memahami kes-kes furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental.
4.Menyerukan “Ijtihad” dan pembaharuan.Memerangi “Taqlid” dan kejumudan.
5.Mengajak untuk beriltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
6.Dalam masalah fiqh, berorientasi pada “kemudahan” bukan “mempersulit”.
7.Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
8.Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9..Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitinya.
10.Menekankan sikap “ittiba’” (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat “ikhtira’” (kreativiti dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.

Inilah inti “manhaj salafi” yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktik. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil memindahkan Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan “negara ilmu dan Iman”. Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat dalam sejarah.

Citra “Salafiah” Dirosak oleh Pihak yang Pro dan Kontra

Istilah “Salafiah” telah dirosak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap “salafiah”. Orang-orang yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skop formaliti dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf.

Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang berbeza pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahawa manhaj Salaf adalah cara “debat” dan “polemik”, bukan manhaj konstruktif dan praktikal. Dan juga mengesankan bahawa yang dimaksud dengan “Salafiah” ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan formaliti dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.

Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini “mundur”, senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah memandang ke depan. Fahaman Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatik terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah sinonim dengan anti pembaharuan, mematikan kreativiti dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderate dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merosakkan citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan “salafiah” dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang yang paling patut mewakili gerakan”pembaruan Islam” pada masa mereka. Kerana pembaharuan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.

Mereka telah menumpaskan fahaman “taqlid”, “fanatisme madzhab” fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi “ashobiyah madzhabiyah” ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah “Raf’l - malaam ‘anil - A’immatil A’lam” karya Ibnu Taimiyah.

Demikian kuatnya serangan mereka terhadap “tasawuf” karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan aqidah yang tersebar di dalamnya. Khususnya di tangan pengasas madzhab “Al-Hulul Wal-Ittihad” (penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan “tasawuf” untuk kepentingan peribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari “Majmu’ Fatawa” karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah “Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”, dalam tiga jilid.

Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekadar Ucapan Mereka

Yang perlu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekadar ucapan-ucapan mereka dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal yang mungkin terjadi, anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya.

Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam “taqlid” yang baru. Dan bererti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. iaitu manhaj “nalar” dan “mengikuti dalil”. Melihat setiap pendapat secara objektif, bukan memandang orangnya. Apa ertinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kurang penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: “Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia”.

Di dalam sel penjara dan penyeksaannya, beliau pernah mengatakan: “Apa yang hendak dilakukan musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid”.
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.

Namun, orang seringkali melupakan, sisi “dakwah” dan “jihad” dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna “Salafiah” yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan “salafiah”, dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi “salafiah”, ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah “Al-Manar’ yang selama kurun waktu tiga puluh tahun lebih membawa “bendera” salafiah ini, menulis Tafsir “Al-Manar” dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Rasyid Ridha adalah seorang “pembaharu” (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca “tafsir”nya, sperti : “Al-Wahyu Al-Muhammadi”, “Yusrul-Islam”, “Nida’ Lil-Jins Al-Lathief”, “Al-Khilafah”, “Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid” dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan “Manar” (menara) yang memberi petunjuk dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran “salafiah”nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah “emas” yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaedah :
“Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat.”
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang mengaku dirinya sebagai “pengikut Salaf”.

(disalin dari buku “Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah” karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press)

Dé Luain 28 Iúil 2008

Ambil pengajaran Israk dan Mikraj

Umat Islam seluruh dunia akan menyambut ketibaan peristiwa agung iaitu Israk dan Mikraj yang ada disebut dalam ayat pertama surah al-Israk tidak lama lagi. Mereka tidak akan melepaskan peluang keemasan yang datang sekali setahun dalam bulan hijriah. Ia bagaikan dinanti-nanti oleh pencinta agama Islam, kerana kepentingannya dalam mentarbiyah jiwa manusia ke arah kesempurnaan.

Israk dan Mikraj adalah salah satu peristiwa penting yang berlaku pada diri baginda Rasulullah s.a.w. Ia juga dianggap salah satu komponen daripada 'Sirah Nabawiyyah', yang bermaksud: Sirah Nabawiyyah adalah pelaksanaan Islam secara praktikal dan contoh tepat dalam menegakkan sebuah negara Islam - Syeikh Munir Muhammad al-Ghadban / Al-Manhaj al-Haraki Li as-Sirah an-Nabawiyyah, juzuk 1, Maktabah al-Wafa', Mansoorah, Mesir ? 1986.

Ulama berselisih pendapat dalam menentukan ketetapan tarikh berlakunya peristiwa penting itu. Menurut Ibn Ishaq ia berlaku selepas 10 tahun baginda dilantik menjadi Rasul. Az-Zuhri pula berpendapat ia berlaku setahun sebelum baginda berhijrah ke Madinah iaitu pada bulan Rabiul Awal, sementara as-Saddi menegaskan ia berlaku pada bulan Rabiul Awal, 16 bulan sebelum baginda berhijrah. Ada pun al-Hafiz Abdul Ghani Ibn Surur al-Maqdasi berpendapat ia berlaku pada 27 Rejab sebelum penghijrahan baginda ke Madinah.

Sementara Syeikh Prof Dr Yusuf al-Qaradawi pula berpendapat, bahawa riwayat mengenai peristiwa Israk dan Mikraj terdapat banyak pembohongan dan riwayat palsu yang boleh menggugat kedudukan iman Muslim, kerana peristiwa tersebut tidak berlaku pada bulan Rejab berdasarkan penjelasan al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqalani, di mana ia tidak berlaku pada malam 27 Rejab kerana ia tidak disokong dengan hadis-hadis Sohih atau pun kata-kata Sahabat yang Sohih.

Itulah juga pendapat Imam an-Nawawi daripada mazhab Imam as-Syafie dan Imam Abu Ishaq yang berpendapat bahawa Israk Mikraj berlaku pada malam 27 Rabiul Awal. Justeru tiada nas yang menyebut keistimewaan beramal pada hari tersebut, sama ada dengan ibadat puasa atau yang lain, kerana puasa pada hari yang tidak jelas bila berlaku peristiwa itu adalah sebahagian daripada perkara bidaah, kerana tiada nas yang jelas menyuruhnya, tetapi jika kebetulan ia jatuh pada hari Isnin atau Khamis, puasa yang dilakukan itu dibolehkan kerana Nabi sering melakukannya.1

Tetapi apa yang penting diambil iktibar daripada peritiwa itu, ialah pengajaran mengenai perjalanan baginda dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa dan mikraj Rasul hingga ke langit ketujuh (Sidratul Muntaha).2

Adapun berpuasa sunat pada bulan Rejab secara umumnya adalah sesuatu digalakkan berdasarkan satu hadis do'if yang disebut oleh Imam as-Suyuti daripada Ibnu Abbas, baginda bersabda maksudnya: "Sesiapa yang berpuasa sehari dalam bulan Rejab, dia bagaikan berpuasa satu bulan, sesiapa yang berpuasa tujuh hari, maka dia tidak akan dimasukkan ke dalam neraka (kerana ia telah ditutup buatnya), sesiapa yang berpuasa sepuluh hari, maka segala kejahatannya diganti dengan segala kebaikan." 3

Adakah Israk berlaku dengan roh dan jasad Nabi?

Musuh-musuh Islam terutamanya di kalangan Orientalis barat, telah meletakkan jarum-jarum mereka dalam penulisan buku-buku sejarah dan sirah baginda Rasulullah s.a.w. Ia bertujuan agar umat Islam yang membacanya akan terkeliru dengan fakta sebenar mengenai perjalanan Israk dan Mikraj.

Mereka berpendapat, bahawa peristiwa Israk dan Mikraj hanya berlaku dalam mimpi baginda, iaitu hanya dengan roh sahaja dan tidak dengan jasad sekali, itu hanya dakwaan Muhammad semata-mata.

Namun bagi para ulama pula, mereka sepakat menyatakan bahawa Israk dan Mikraj yang berlaku ke atas baginda Rasulullah s.a.w. dengan roh dan jasad sekali, tidak hanya dengan roh seperti yang didkawa oleh musuh-musuh Islam.

I ni kerana mereka berpendapat, bahawa ungkapan perkataan 'hamba-Nya' dalam ayat pertama mengenai Israk merangkumi roh dan jasad pada diri seorang insan khususnya Nabi Muhammad s.a.w., sedangkan ia berlaku hanya dengan roh sahaja adalah berdasarkan riwayat-riwayat palsu yang sengaja untuk melemahkan keperibadian Rasulullah.
Sedangkan terdapat riwayat menunjukkan bahawa baginda menerima pensyariatan ibadat solat lima waktu secara langsung daripada Allah SWT adalah dengan roh dan jasad, itulah satu-satu ibadat khusus yang diberikan Allah secara langsung kepada baginda berbeza dengan ibadat-ibadat lain.

Program masjid ke masjid menjadi ukuran hiburan baginda

Peristiwa Israk dan Mikraj berdasarkan penjelasan para ulama berlaku sebelum penghijrahan baginda ke bumi Madinah. Ia sebagai satu pendekatan Allah untuk menghiburkan Nabi-Nya yang kehilangan dua tonggak kekuatan dakwah baginda, iaitu bapa saudaranya Abu Talib dan isteri tercinta iaitu Sayidatina Khadijah.

Sebagai manusia, baginda juga merasa sedih dan pedih dengan kematian dua orang penting yang banyak berjasa dalam mengembangkan sayap-sayap Islam di Makkah, namun Allah SWT mahu baginda terus berhubung kepada-Nya dalam keadaan yang penuh dengan kesedihan dan kemurungan.

Maka Allah Yang Maha Bijaksana telah merancang satu program berbentuk keagamaan, iaitu program masjid ke masjid, iaitu daripada Masjid al-Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsa di Palestin, inilah contoh terbaik satu bentuk hiburan bagi menghilangkan perasaan gundah gulana yang dialami baginda selepas kematian dua tokoh terpenting.

Ia berlaku dalam semalaman sahaja yang menandakan bahawa Allah mampu bertindak demikian, walaupun ramai di kalangan manusia tidak mempercayainya malah menafikannya, sehingga pada waktu itu datang Abu Bakar as-Siddiq tanpa mengambil masa panjang terus mengiyakan peristiwa berkenaan.

Hasil daripada program masjid ke masjid

Yang paling penting daripada peristiwa Israk dan Mikraj, ialah baginda menerima kewajipan solat lima waktu yang dijemput Allah secara langsung di langit yang ketujuh.
Walaupun pada peringkat awal, Allah mewajibkan 50 waktu solat yang dijangkakan bahawa umatnya tidak mampu untuk melakukannya atas nasihat Nabi Musa a.s, maka baginda terus melakukan tawar menawar dengan Allah agar dikurangkan kepada jumlah yang sedikit.
Baginda berjumpa dengan Allah dengan merayu kepada-Nya supaya ia dikurangkan, dengan perasaan malu baginda tetap berjumpa Allah sehingga ia dikurangkan kepada lima waktu, itulah pengorbanan dan ingatan baginda terhadap umatnya.

terdapat di kalangan umatnya tidak berterima-kasih kepada baginda kerana sanggup meninggalkan solat fardu berkenaan, walaupun kita hanya melakukan lima waktu, tetapi diganjari dengan lima puluh pahala, berbeza dengan umat terdahulu, lima puluh waktu solat hanya diganjari satu pahala setiap solat. Inilah kelebihan kita sebagai pengikut dan umat Nabi Muhammad, tetapi mengapa masih ramai yang mengabaikan tanggungjawab ini, sedangkan solat adalh perkara pertama yang ditanya oleh Allah pada hari Qiamat, tidak yang lain.

Baginda mengimamkan solat nabi-nabi sebelum dimikraj

Baginda Nabi Muhammad s.a.w. sebelum berangkat dengan 'Buraq' untuk menuju langit ketujuh, menjadi imam solat kepada nabi-nabi terlebih dahulu, antaranya Nabi Musa a.s., ia berdasarkan sebuah hadis, di mana baginda bersabda: "Jika Musa bin Imran diutus di kalangan kamu, maka tiada sebab dia menjadi salah seorang pengikutku."
Suasana solat berjemaah yang diimamkan oleh baginda nabi Muhammad s.a.w. itu menunjukkan bahawa para nabi semuanya akur terhadap kedudukan baginda sebagai Rasul terakhir yang menyempurnakan syariat agama Allah.

Mereka bersalaman antara satu sama lain sebagai tanda kesyukuran dan simbolik menyerahkan tugas kerasulan kepada Nabi Muhammad s.a.w., ia juga sebagai satu petanda betapa hubungan antara Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsa begitu intim dan akrab, apatah lagi majoriti para nabi di kalangan Bani Israil yang merupakan kiblat pertama umat Islam di muka bumi ini, selain menjadi syiar agama Islam terdahulu.
Ia juga menunjukkan bahawa kepimpinan baginda Rasulullah s.a.w sebagai Nabi terakhir diperakui oleh Allah, sebagaimana yang ditegaskan menerusi beberapa ayat al-Quran mengenainya.4

Pengajaran penting daripada Israk dan Mikraj

Menurut Syeikh Prof Dr Yusuf al-Qaradawi, menerusi peristiwa berkenaan, kita boleh fokuskan kepada dua perkara penting, pertama berhubung dengan Masjid al-Aqsa dan hubungan dengan Masjid al-Haram, kedua mengenai kewajipan solat yang diserahkan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Persoalannya di sini, mengapa Allah tidak memperjalankan baginda terus ke langit ketujuh, tetapi singgah dahulu di Masjid al-Aqsa?

Ini kerana Allah mahukan agar baginda bertemu dengan para Anbiya terlebih dahulu bagi menyatakan sokongan padu mereka terhadap kerasulan Nabi Muhammad, di samping mahu baginda singgah di sebuah tempat yang penuh dengan keberkatan daripada Allah SWT seperti yang disebut dalam ayat pertama surah al-Israk.
Kepimpinan baginda menjadi titik tolak penyatuan akidah dan syariat di kalangan para Anbiya, justeru baginda menjadi imam solat kepada mereka, iaitu kepimpinan bersifat global, bukan hanya untuk kaum atau bangsa tertentu, malah buat manusia sejagat yang terdiri daripada pelbagai etnik, suku kaum, bangsa yang menunjukkan kebesaran Allah dalam mencipta makhluk bernama manusia.5

Hubungan Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsa tidak dapat disangkal oleh individu Muslim yang sayangkan agamanya. Ini kerana dari segi sejarah menunjukkan Masjid al-Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam sebelum berpindah kepada Masjid al-Haram hingga ke hari ini.
Justeru adalah menjadi tanggungjawab semua pihak khususnya di kalangan umat Islam membebaskan Masjid al-Aqsa dari cengkaman rejim Yahudi-Israel, kerana ia ada kaitan dengan persoalan akidah mereka.

Pengajaran kedua terpenting menerusi peritiwa Israk dan Mikraj, ialah pelaksanaan ibadat solat lima waktu, ia merupakan mikraj (lif/tangga) seorang Muslim menghadap Tuhannya, kepentingan solat juga tidak dapat dipersoal oleh mana-mana individu Muslim, walau apapun jawatan dan kedudukannya dalam masyarakat.
Apabila solat seseorang itu beres dengan Tuhannya, maka akan bereslah urusan hidupnya yang lain, hubungan roh seorang muslim itu sangat penting dengan Tuhannya, justeru ia ada kaitan dengan kedua-dua masjid yang disebutkan di atas.
Apabila seseorang itu menunaikan solat dengan penuh khusuk dan tawaduk, dia seolah-olah sedang berkata-kata dengan Allah, ia terserlah ketika membaca al-Fatihah tujuh belas kali sehari semalam, untuk menyatakan munajat dan aduannya kepada Allah bagi memudahkan tugas dan peranannya untuk menyeru manusia ke jalan kebenaran.6

Isra' dan Mi'raj.. Bersama Abu Saif...


Allahu akbar.. senyum meleret aku, bila ust Hasrizal Abdul jami, Abu Saif, tidak menolak permintaan aku untuk bergambar bersama,
Aku sememangnya telah lama mengikuti perkembangan ust Hasrizal melalui blognya, www.saifulislam .com, akhirnya dengan izin Allah, dapat bertemu dengan beliau yang hadir ke IPTAR minggu lalu, aku yang mengagumi tulisan beliau dalam blognya, bahkan aku pernah mengambil teks khutbah yang ditulis beliau dalam blognya " Kemerdekaan diatas Manhaj Nubuwwah" untuk aku sampaikan dalam khutbahku pada 31 ogos 2007 yang lalu.
Mudah tersenyum, ramah, simple, itu lah antara yang dapat aku perhatikan, dan yang paling penting, benarlah seperti yang aku dengar dari sahabat-sahabat yang lain, ceramah yang beliau sampaikan, begitu menarik, sehingga tempoh 1 jaqm 15 minit, langsung tidak aku rasai,
bersama Abu Saif, cuma aku, blum tau abu apa...
Secara kebetulannya, Naqib Usrah aku, Ust Saiful Azhar, adalah bekas anak usrah Ust Hasrizal..Jadi kami adalah cucu usrah..hehe, itu guarauan sahabat aku, che mo, Alhamdulillah, aku harap ilmu yang dapat aku kutip sepanjang dua kali pertemuan kami, akan dapat aku manfaatkan..sebagai da'ie yang baik...

Dé Domhnaigh 20 Iúil 2008

Kenangan Aktiviti air B.I.G

Bina Insan Guru Lagi..

Assalamualaikum..

dah lama rasanya aku tak menulis, terlalu sibuk agaknya ( xtaula apa yang disibukkan), teringat mafhum hadith Rasulullah " Barang siapa yang tidak menyibukkan diri dengan urusan agama, dia akan diSIBUKKAN Allah dengan urusan dunia"

Esok aku akan mengikuti kursus B.IG untuk semester ni..untuk kali ini, kami diarahkan membuat Khidmat sosial, di Santubong, Kuching..

masih terasa lagi keletihan B.I.G tahun lalu, padat dengan aktiviti air dan kembara darat.. aku terfikir juga, kalaulah setiap da'ie, diberi latihan seperti ini, tetapi dengan pendekatan yang lebih Islamik, pasti kelasakan dan keletihan takkan menghalang da'ei dari usaha dakwah...

Islam dah bagi semua jalan bagi kita meniti dunia, hanya pemikiran sekular, yang bertopengkan kemodenan, seolah-olah merasa diri lebih hebat dari Rabbul Jaliil, menolak pendekatan Islam, Islam bukan agama yang boleh dibina atas dasar tempel-tempelan..binalah Islam dalam diri, keluarga, dan kembangkan dalam kerangka masyarakat, bagi membentuk Bi'ah Solehah..thumma..Daulah Islamiah...

Déardaoin 17 Iúil 2008

Liwat dan qazaf dari perspektif Islam

Mensabitkan Kesalahan Zina Dan Liwat

Kesalahan zina dan liwat sabit dengan iqrar (pengakuan) atau melalui saksi-saksi yang memenuhi syarat syaratnya.

Iqrar (Pengakuan)

Hadis riwayat Abu Hurairah r.a. (al-Bukhari, kitab al-Hudud):
"Seorang lelaki datang mengadap Rasulullah s.a.w. di dalam masjid. Lelaki itu berkata: "Wahai Rasulullah! Saya telah melakukan zina." Rasulullah s.a.w. berpaling ke arah lain (yakni seperti tidak melayannya), lelaki itu mengulangi pengakuannya sebanyak empat kali. Setelah lelaki itu membuat pengakuan sebanyak empat kali, akhirnya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Adakah engkau gila?" Dia menjawab: "Tidak." Rasulullah s.a.w. bertanya lagi: "Adakah engkau telah berkahwin?" Dia menjawab: "Ya." Lalu Rasulullah s.a.w. memerintahkan (para sahabatnya): "Bawalah lelaki ini pergi dan rejamlah dia."
Mengikut riwayat yang lain, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Adakah engkau bercumbu-cumbu sahaja." Dia menjawab: "Tidak. Sebenarnya saya telah berzina."
Mengikut riwayat yang lain: "Setelah selesai sembahyang, dia (lelaki itu) datang lagi, lalu Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tidakkah awak telah berwuduk dan telah bersembahyang? Dengannya Allah mengampunkan dosa." Tetapi lelaki itu terus mengaku berzina dan mahu supaya disucikan dirinya dengan hukuman.
Hadis riwayat Sulaiman bin Buraidah, daripada bapanya (riwayat Muslim, Kitab al-Hudud):
"Kemudian seorang perempuan dari qabilah al-Ghamidiyah datang mengadap Rasulullah s.a.w. Wanita itu berkata: "Wahai Rasulullah! Sucikanlah diri saya." Sabda Rasulullah s.a.w. : "Baliklah, beristighfarlah engkau dan bertaubatlah." Wanita itu berkata lagi: "Adakah engkau mahu melakukan kepada saya seperti yang engkau lakukan kepada Ma'iz bin Malik?" Rasulullah s.a.w. bertanya: "Apakah masalah engkau?" Wanita itu memberitahu bahawa dia sedang mengandung hasil perbuatan zina. Rasulullah s.a.w. bertanya: "Apakah benar?" Wanita itu menjawab: "Ya." Rasulullah s.a.w. bersabda: "Bersalinlah dahulu."
Wanita itu dijaga oleh seorang lelaki dari kalangan Ansar sehingga bersalin. Kemudian lelaki itu datang menemui Rasulullah s.a.w. memberitahu bahawa wanita itu telah bersalin. Baginda bersabda: "Kita tidak akan merejamnya dan membiarkan anaknya tidak dapat menyusu." Lalu bangun seorang lelaki dari kalangan Ansar dan berkata: "Biar saya uruskan urusan penyusuannya, wahai Nabi Allah." Lalu Rasulullah s.a.w. merejam wanita itu."
Kedua-dua hadis di atas diriwayatkan oelh para ulama hadis dengan riwayat yang sahih dan menjadi dalil dalam kes iqrar (mengaku) berzina. Para ulama telah menyimpulkan daripadanya hukum-hukum yang berkaitan dengan iqrar melakukan kesalahan zina dan liwat.
Syarat-syarat iqrar
1. Orang yang membuat pengakuan itu hendaklah seorang yang baligh dan berakal. Tidak sah pengakuan orang gila, mabuk dan sebagainya, kerana sabda Rasulullah s.a.w. (Abu Daud: Kitab al-Hudud):
"Diangkat qalam daripada menulis amalan kanak-kanak sehingga dia baligh, daripada orang tidur sehingga dia terjaga, dan daripada orang gila sehingga dia sedar."
2. Pengakuan hendaklah dilakukan dengan pilihan sendiri, tanpa dipaksa, sepeti dipukul, dibelasah, diberi bahan yang menghilangkan ingatan seperti dadah dan sebagainya. Maka tidak sah pengakuan orang yang dipaksa, kerana sabda Rasulullah s.a.w. (Ibn Majah: Kitab al-Talaq):
"Allah mengangkat (memaafkan) kesalahan umatku yang melakukan sesuatu kerana tersalah, terlupa dan dipaksa."
3. Iqrar (pengakuan) dilakukan secara lisan. Tidak diterima pengakuan dalam bentuk tulisan, pita rakaman dan sebagainya dalam perkara hudud.
4. Iqrar hendaklah dilakukan berulangkali dalam perkara zina dan liwat, iaitu sebanyak empat kali, dalam majlis yang berasingan, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap Ma'iz bin Malik.
5. Iqrar itu dilakukan di hadapan hakim dan hakim pula menunjukkan sikap tidak senang dan berusahan supaya orang yang beriqrar itu tidak mengulangi iqrarnya, kerana bertaubat lebih baik daripada menyerah diri secara iqrar di hadapan pihak yang berkenaan, kerana inilah cara yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w.

Menarik Balik Pengakuan

Seseorang yang mengaku melakukan zina dan liwat hendaklah diterima penarikan balik pengakuannya, walaupun sudah memenuhi syarat-syarat yang tersebut di atas, kerana Rasulullah s.a.w. menegur para sahabat baginda dengan keras kerana meneruskan hukuman terhadap Ma'iz bin Malik setelah dia melarikan diri ketika hukuman dijalankan.
Apabila seseorang lelaki mengaku zina dengan seseorang perempuan dan perempuan itu tidak mengaku salah, maka si lelaki sahaja yang dihukum, kerana inilah keputusan yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Saksi
Firman Allah (al-Nisa': 15) yang bermaksud: "Dan sesiapa yang melakukan perbuatan keji (zina) di antara perempuan-perempuan kamu, maka carilah empat orang lelaki di antara kamu yang menjadi saksi terhadap perbuatan mereka."
Firman Allah lagi (al-Nur:4) yang bermaksud: "Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan (zina) kepada perempuan yang terpelihara kehormatannya, kemudian mereka tidak membawakan empat orang saksi..."
Firman Allah lagi (al-Nur:13) yang bermaksud: "Sepatutnya mereka (yang menuduh) membawa empat orang saksi membuktikan tuduhan itu. Jika mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka mereka itu pada sisi hukum Allah, adalah orang-orang yang dusta."
Orang yang menjadi saksi hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Baligh lagi berakal. Oleh itu tidak boleh diterima tuduhan yang dilakukan oleh orang gila, kerana cakapnya tidak boleh diterima.
2. Islam, sekiranya tuduhan dilakukan terhadap orang Islam, kerana kesedarannya terhadap perhitungan dosa pahala dan sebagainya. Di samping itu, perkara zina dan liwat ini termasuk dalam hukum hudud Islam yang dinaskan.
3. Mempunyai pancaindera yang sihat. Tidak diterima saksi yang tidak jelas penglihatan, tuli dan bisu.
4. Adil, yakni seseorang yang diketahui tidak melakukan mana-mana dosa besar, dosa kecil secara berterusan dan perkara-perkara yang menjatuhkan maruah, walau pun tidak berdosa.
5. Lelaki, yakni dalam perkara hudud dan qisas. Oleh kerana zina dan liwat termasuk dalam perkara hudud, maka saksi wanita tidak diterima dalam perkara ini.
6. Tiada tohmahan (kekeliruan yang menarik manfaat atau menolak mudarat), berkepentingan dan prejudis seperti menjadi saksi kepada bapa, anak atau majikannya, atau orang yang diketahui bermusuh dengan orang yang dituduh yang akan memburukkannya sahaja. Maka tidak boleh menerima penyaksian saksi yang ada kaitan dengan konspirasi politik dan sebagainya.
7. Bilangan yang cukup. Pada tuduhan zina dan liwat, memerlukan empat orang saksi.
8. Keempat-empat saksi melihat (perbuatan zina dan liwat itu) bersama-sama.
9. Memberi keterangan dalam majlis (persidangan) yang sama.
Saksi dalam tuduhan zina dan liwat bukan sahaja wajib memenuhi syarat-syarat tersebut tetapi juga hendaklah melihat kesalahan itu berlaku mengikut takrifnya secara jelas, yakni melihat anggota kemaluan yang melakukannya secara jelas. Para ulama bersepakat mengatakan bahawa keterangan melalui kesan air mani, pita video dan gambar tidak boleh mensabitkan kesalahan zina dan liwat. Keterangan saksi yang berlapis yang hanya menerima berita dari orang lain (hearsay) juga tidak boleh diterima.
Kesemua perkara tersebut menunjukkan bahawa tuduhan zina dan liwat, tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenangnya.

Keterangan-Keterangan Yang Tidak Nyata

Penggunaan kepakaran untuk menganalisa darah dan air mani (atau ujian DNA) bagi mensabitkan kesalahan jenayah huduh seperti zina dan liwat tidak dibenarkan oleh Islam, kerana ada syubhat (kekeliruan). Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:
"Hudud hendaklah ditolak (tidak dilaksanakan) dengan adanya syubhat (kekeliruan)."
Ketepatan analisa DNA boleh dipertikaikan kerana banyak kemungkinan-kemungkinan yang boleh menimbulkan keraguan. Sesetengah ulama membenarkan analisa ini untuk menafikan tuduhan sahaja, bukan untuk mengisbatkannya (mensabitkan kesalahan). Para ulama Islam telah menyebut perkara ini di dalam kitab-kitab fiqh, di antaranya Ibn al-Qayyim di dalam kitanya al-Turuq al-Hukmiyyah.
Begitu juga tuduhan tidak boleh disabitkan dengan gambar, pita video, kaset dan sebagainya yang bukan merupakan keterangan secara langsung.
Bersumpah
Tidak diharuskan bersumpah bagi mensabitkan jenayah hudud yang berkaitan dengan hak Allah, seperti zina dan liwat. Bahkan jenayah hudud dan qisas dalam perkara hak manusia juga tidak dibenarkan bersumpah menurut jumhur (kebanyakan) ulama kerana perkara hudud dan qisas yang berhubung dengan hak manusia juga dianggap menyerupai hak Allah.
Yang dimaksudkan dengan bersumpah di sini adalah sumpah mengikut hukum Islam dengan lafaznya yang ditetapkan, bukan seperti yang difahami oleh orang jahil yang mencadangkan supaya sumpah dilakukan secara menjunjung al-Quran, yang menyerupai sumpah yang dilakukan oleh penganut agama Kristian.
Syarat orang yang melakukan zina dan liwat
Orang yang melakukan kesalahan zina dan liwat itu pula hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Baligh, yakni cukup umur mukallaf 2. Berakal3. Secara pilihan dengan tidak dipaksa4. Mengetahui pengharaman zina dan liwat5. Tiada syubhah (seperti terkeliru atau tersilap kerana disangka isterinya)6. Berzina atau berliwat dengan manusia7. Melakukan perbuatan yang ditakrifkan sebagai zina atau liwat
Qazaf
Perkataan qazaf dalam bahasa Arab bermakna melemparkan sesuatu benda umpama batu dan sebagainya. Seterusnya perkataan itu dikhususkan kepada melemparkan sesuatu yang buruk termasuk menggunakan perkataan yang keji terhadap seseorang.
Menurut istilah hukum syarak, qazaf ialah menuduh zina terhadap seseorang tanpa saksi yang adil. Termasuk juga menuduh liwat, mengikut pendapat jumhur para ulama, di antaranya Mazhab Maliki, Syafie dan Hambali. Mazhab Hanafi pula hanya mengkhususkannya kepada tuduhan zina sahaja, manakala tuduhan liwat di sisi mereka termasuk dalam perkara takzir.
Qazaf termasuk dalam hukum hudud yang dinaskan di dalam al-Quran dan Hadis Nabi s.a.w. Perkara yang telah dinaskan, berada di luar bidang ijtihad para ulama, kerana haram meminda nas daripada Allah dan Rasul-Nya. Oleh itu, tidak boleh dinamakan hudud PAS atau hudud sesiapa. Sesiapa yang membuat kenyataan itu maka hukumnya berdosa kerana kenyataan yang dibuatnya itu berdasarkan kepada kejahilannya.
Perkara tersebut menjadi perkara yang wajib diketahui oleh orang-orang Islam, kerana fardhu ain itu, bukan sahaja terdapat pada perkara yang wajib ditunaikan, tetapi termasuk juga pada perkara yang diharamkan kita melakukannya agar kita menjauhinya, meninggalkannya dan mencegahnya, Manakala mendalaminya secara detail hukumnya adalah fardhu kifayah.
Di kalangan ulama ada yang membahagikan tuduhan itu kepada dua cara:
1. Secara sorih (berterus terang) dengan menujukan tuduhan zina atau liwat kepada orang yang tertentu. Sekiranya tuduhan itu diakui oleh orang yang dituduh secara sukarela dan memenuhi syarat-syarat pengakuannya, maka hukuman hudud boleh dijatuhkan oleh hakim ke atas orang berkenaan.
2. Secara sindiran. Seperti menafikan nasab daripada ayahnya mengatakan 'awak bukan anak kepada si anu' yang diketahui sebagai bapanya yang sebenar, atau 'awak anak daripada hasil zina' dan lain-lain tuduhan yang boleh difahamkan sebagai tuduhan zina atau liwat.
Hikmah Pengharaman Qazaf
Tujuan pengharaman qazaf adalah bagi memelihara maruah manusia, yang menjadi satu daripada perkara yang sangat penting bagi manusia sama ada bagi diri, keluarga atau masyarakatnya. Maruah sangat bernilai dalam hidup dan mati seseorang, membezakan manusia dengan binatang dan menjadi sebahagian daripada harga diri sehingga tidak boleh dinilai dengan harta benda yang paling mahal. Islam telah menegaskan kewajipan mempertahankan maruah dengan meletakkan maruah mengatasi harta yang juga wajib dipertahankan.
Demi menjaga maruah itulah, maka diwajibkan hukuman qazaf secara hudud yang ditetap oleh Allah dan Rasul-Nya s.a.w. supaya seseorang itu atau kumpulannya tidak boleh melemparkan tuduhan zina dan liwat ke atas seseorang yang lain secara sewenang-wenangnya.

Syarat-syarat Qazaf

Tidaklah mudah menentukan bahawa seseorang itu telah melakukan qazaf, kerana Islam mewajibkan syarat-syarat tertentu bagi orang yang melakukannya, orang menjadi mangsa dan tuduhan itu sendiri.
Syarat-syarat bagi orang yang melakukan tuduhan itu adalah:
1. Berakal. Tidak boleh diterima tuduhan yang dilakukan oleh orang gila, kerana cakapnya tidak boleh dipakai.
2. Baligh, yakni sampai umur mukallaf yang boleh dipertanggungjawabkan perintah-perintah agama ke atasnya. Kanak-kanak yang belum baligh, tidak boleh dikategorikan tuduhannya sebagai qazaf.
3. Tidak dipaksa. Tidak boleh menerima tuduhan yang dilakukan oleh orang yang dipaksa supaya melakukan tuduhan itu.
4. Tidak dapat mengadakan empat orang saksi yang memenuhi syarat-syarat saksi mengikut hukum Islam.
Orang yang dituduh juga hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Berakal. Maka tidak sah menuduh orang yang tidak berakal. Oleh itu orang yang menuduh tidak boleh diambil tindakan qazaf
2. Baligh. Maka orang yang menuduh terhadap orang yang tidak baligh, tidak boleh dikenakan hukuman had qazaf. Dia hanya dikenakan hukuman ta'zir.
3. Islam, mengikut jumhur para ulama.
4. 'Iffah atau ihsan, yakni orang yang dituduh itu seorang yang diketahui kebaikan akhlaknya dan tidak pernah disabitkan melakukan zina.
5. Orang yang ditentukan tidak berlaku qazaf dengan menuduh seseorang yang tidak ditentukan secara khusus.

Syarat tuduhan pula hendaklah tuduhan dalam perkara zina, menurut ijmak para ulama dan tuduhan dalam perkara liwat, mengikut pendapat jumhur para ulama. Sekiranya tuduhan itu dalam perkara yang lain seperti berjudi, minum arak, rasuah dan sebagainya, maka tidak dinamakan qazaf yang mewajibkan hukuman hudud, tetapi berpindah kepada hukum takzir yang terserah kepada budibicara pihak yang berkenaan untuk menentukan hukumannya.

Mensabitkan Jenayah Qazaf

Kesalahan qazaf yang dijatuhkan hukuman had ialah apabila terbukti melalui dua cara:
1. Iqrar daripada orang yang melakukan qazaf.2. Dua orang saksi yang memenuhi syarat-syarat saksi.
Hukum Hudud yang berkait dengan Qazaf
Terdapat kekhilafan di kalangan para ulama, adakah hukum qazaf berkait dengan hak Allah atau hak manusia?
Mazhab Hanafi menegaskan bahawa qazaf termasuk di dalam kategori hak Allah terhadap hamba-Nya kerana ia berkait dengan maruah seseorang. Hukum hudud yang ditetapkan ke atas jenayah qazaf berkait dengan maslahah umum, iaitu untuk memelihara kepentingan hamba-hamba Allah (manusia) dan maruah mereka, serta menghindarkan perkara kefasadan di kalangan manusia.
Apabila ia menjadi aspek umum maka ia termasuk dalam hak Allah terhadap hamba-hamba-Nya.
Mazhab Syafie dan Hanbali berpendapat bahawa qazaf termasuk dalam kategori hak hamba (manusia), kerana maruah secara langsung diberikan kepada manusia. Apabila maruahnya dijatuhkan melalui qazaf, ia bermakna seperti melakukan sesuatu ke atas batang tubuh orang yang tertentu, maka ia menjadi hak bagi diri orang itu.
Manakala ulama dalam mazhab Maliki berselisih pendapat. Ada di kalangan mereka yang bersetuju dengan mendapat Mazhab Hanafi, ada yang bersetuju dengan pendapat Mazhab Syafie dan Hambali. Di antara mereka adalah Ibnu Rusyd, dan ada yang berpendapat bahawa di dalam perkara qazaf ada kedua-dua hak tersebut.
Mereka yang berpegang kepada pendapat bahawa qazaf itu adalah hak Allah, bermakna setelah perkara itu dibawa kepada pihak yang berkenaan (berwajib) maka ia tidak boleh dimaafkan lagi, yakni mangsa tuduhan tidak boleh memberikan pengampunan.
Pengampunan hanya boleh diberi sebelum kes tersebut dibawa kepada pihak yang berkenaan. Manakala mereka yang menyatakan bahawa qazaf itu adalah hak manusia, maka mangsa tuduhan diberi hak untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dijatuhkan hukuman kerana kesalahan melakukan qazaf.
Hak Tuduhan Qazaf
Mereka yang berpendapat bahawa qazaf termasuk dalam kategori hak manusia, mengatakan bahawa orang yang menjadi mangsa mempunyai hak pengampunan ke atas orang yang melakukan jenayah qazaf.
Sekiranya orang yang menjadi mangsa qazaf masih hidup, maka hak membuat pendakwaan terserah kepadanya sendiri. Sekiranya ia telah meninggal dunia, maka hak tersebut berpindah kepada keluarganya yang terdekat, iaitu bermula daripada ayah hingga ke atas, kemudian berpindah kepada anak hingga ke bawah. Ia tidak berpindah kepada saudaranya yang lain, kerana perkara qazaf sangat berkait dengan maruah zuriat secara langsung.
Hukuman ke Atas Orang Yang Melakukan Qazaf (Menuduh Zina atau Liwat)
Nas dan ijtihad para ulama yang berlandaskan roh syariat Allah yang maha adil, menunjukkan bahawa tuduhan yang menjatuhkan maruah seseorang seperti tuduhan zina dan liwat tidak harus dipermudah-mudahkan.
Untuk membuat tuduhan itu, wajiblah mempunyai alasan dan hujah yang kukuh. Perkara-perkara yang diwajibkan ke atas pihak yang berkenaan supaya dilaksanakan ketika melakukan sesuatu tuduhan, membuktikan bahawa kewajipan memelihara maruah juga menjadi tanggungjawab kerajaan setelah ditegaskan bahawa ianya adalah kewajipan individu.
Kesalahan tuduhan zina dan liwat amat besar, sehingga ia dimasukkan ke dalam jenayah yang dikenakan hukuman keras dan ditetapkan sendiri hukumannya oleh Allah SWT secara nas di dalam Al-Quran. Di akhirat pula ia dikira sebagai dosa besar yang disediakan azab yang pedih kepada pelakunya, sekiranya dia tidak bertaubat dan meminta maaf daripada mangsa tuduhan atau tidak menerima tindakan undang-undang Islam oleh pihak yang berkenaan.
Hukuman di dunia
Hukuman di dunia yang wajib dijatuhkan ke atas penjenayah qazaf oleh kerajaan Islam ditetapkan oleh Allah di dalam al-Quran.
Firman Allah (al-Nur: 4) yang bermaksud: "Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan (zina) kepada perempuan yang terpelihara kehormatannya, kemudian mereka tidak membawakan empat orang saksi, maka sebatlah mereka delapan puluh kali sebat; dan janganlah kamu menerima persaksian mereka itu selama-lamanya; kerana mereka adalah orang-orang yang fasik."
Hukuman terhadap penjenayah qazaf di dunia ialah:
1. Disebat sebanyak 80 kali sebatan mengikut cara Islam. Bukannya sebatan seperti yang diamalkan sekarang. Iaitu dengan alat yang sederhana dan cara pukulan yang sederhana. Tidak dibenarkan mengangkat alat sebatan lebih tinggi daripada kepala dan sebatan itu tidak boleh menyebabkan kulit dan daging terkoyak. Orang yang disebat pula hendaklah berada dalam keadaan kesihatan yang baik dan memakai pakaian yang bersopan serta disaksikan oleh orang ramai.
2. Dihukum menjadi fasik dengan tidak diterima penyaksiannya dalam segala urusan, sama ada di mahkamah, ketika berjual beli, perkahwinan, melihat anak bulan Ramadan, Syawal dan lain-lain.

Hukuman di Akhirat:

Firman Allah (al-Nur: 23-24) yang bermaksud: "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan (dan lelaki-lelaki) yang terpelihara kehormatannya, yang tidak terlintas memikirkan sebarang kejahatan, lagi yang beriman akan dilaknat (oleh Allah) di dunia dan di akhirat dan mereka pula akan beroleh azab seksa yang besar. Pada hari lidah mereka dan tangan mereka serta kaki mereka menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, tentang segala yang mereka lakukan."
Hukuman pada hari kiamat nanti lebih adil dan bijaksana. Allah Yang Maha Mengetahui tidak menghukum dengan sifat mengetahui-Nya sahaja, tetapi perbicaraan akan di ulang semula di mahkamah-Nya dengan bukti-bukti yang lebih terperinci. Ketika itu, anggota badan manusia, tangan dan kaki mereka akan menjadi saksi. Di samping itu terdapat catatan para malaikat, iaitu makhluk Allah yang paling baik dan suci, yang nalurikan dengan sifat sentiasa taatkan perintah Allah dan tidak sekali kali menderhakai-Nya.
Mereka akan dikerah untuk menjadi saksi sehingga mulut para pembohong dan pendakwa yang pandai mengubah kata dan meminda catatan tidak mampu lagi untuk memutarbelitkan kenyataan yang sebenar.

Dé Máirt 8 Iúil 2008


kita tidak layak untuk jemu berdoa...Sedangkan Allah tak pernah Jemu melimpahkan rahmatnya...

Tidak Jemu Memeohon Hidayah...

sumber-alsofwah.or.id

" Ihdinashshiraatal mustaqim, "Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus", demikian kita -kaum muslimin- mengucapkan doa ini, paling tidak 17 kali dalam sehari. Ada apakah di balik permohonan ini? bukankah jalan yang lurus sudah jelas bagi kita, yakni agama Islam, dan kita semua alhamdulillah sudah menjadi seorang muslim? Do،¦a tersebut ternyata mengandung makna yang sangat mendalam, dan hampir mirip dengan doa qunut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam. Seringkali kita mendengar lafazh do'a qunut (misalnya qunut Ramadhan atau qunut nazilah, red) yang biasa dibaca oleh imam-imam kita di dalam shalatnya. Di antara permohonan dalam do،¦a tersebut adalah, "Allahummahdinaa fiiman hadait" artinya, "Ya Allah berilah kami petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk." Berikut penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkenaan dengan do،¦a tersebut, semoga bermanfaat. Kalimat "Berilah kami petunjuk" yang terlampir pada cuplikan do'a di atas mengandung makna yang sangat luas. Do،¦a tersebut bukan hanya permohonan petunjuk saja, tetapi juga permohonan agar mampu untuk melaksanakan petunjuk tersebut. Makna do'a itu adalah sebagai berikut, "Tunjukkanlah kami ya Allah kepada kebenaran dan mudahkanlah bagi kami untuk menjalankan kebenaran itu." Petunjuk yang sempurna lagi bermanfaat adalah petunjuk yang Allah subhanahu wata،¦ala memadukan di dalamnya antara ilmu dan amal. Suatu petunjuk yang tidak diiringi dengan amal/perbuatan, maka akan sia-sia, bahkan menyesatkan. Karena setiap orang yang tidak mengamalkan ilmu yang telah ia miliki, maka ilmunya itu justru akan berbalik menjadi bencana bagi dirinya sendiri. Sebagai misal tentang petunjuk berupa ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan amal perbuatan adalah seperti yang difirmankan Allah subhanahu wata،¦ala, yang artinya, "Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu". (QS. Fushilat:17) Dari ayat tersebut di atas "Mereka telah Kami beri petunjuk" mengandung maksud bahwa Allah subhanahu wata،¦ala telah memberi penerangan bagi mereka akan suatu jalan dan telah Ia karuniakan bagi mereka itu ilmu pengetahuan, akan tetapi mereka berbuat yang sebaliknya yaitu seperti yang termuat pada kalimat berikutnya, yang artinya, "Tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu". Adapun petunjuk yang berupa ilmu dan penerangan guna menggapai kebenaran adalah seperti yang telah dicontohkan di dalam firman Allah subhanahu wata،¦ala yang ditujukan kepada Nabi-Nya shallallahu ،¥alaihi wasallam, artinya, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus". (QS. Asy-Syuuraa: 52) "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk" pada rentetan kata ayat di atas memiliki penjabaran makna sebagai berikut, "Kamu (wahai Muhammad) memberi petunjuk, penerangan, dan pengajaran kepada manusia menuju jalan yang lurus. Sedangkan contoh dari petunjuk yang bermakna taufiq adalah yang biasa diucapkan oleh orang-orang yang sedang melaksanakan shalat, artinya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus". (QS. Al-Fatihah:6) Maka di saat anda mengucapkan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus", maka apakah anda memohon kepada Allah subhanahu wata،¦ala suatu karunia ilmu tanpa amal ? Ataukah mungkin sebaliknya suatu amalan tanpa didasari oleh ilmu ? Atau mungkin yang ketiga ini yaitu karunia ilmu berserta amal ? Pendek kata hendaklah bagi setiap insan jika ia memohon kepada Allah subhanahu wata،¦ala, "Tunjukilah kami jalan yang lurus", agar ia menghadirkan jiwanya bahwa ia sedang meminta kepada Allah subhanahu wata،¦alaƒnkarunia ilmu dan amal/perbuatan, maka ilmu itulah yang bertindak sebagai petunjuk, sedang amal/perbuatan itulah yang dimaksudkan sebagai taufiq. Hal inilah -menurut sepengatahuan saya, dan keilmuan tentang itu adalah berada di sisi Allah subhanahu wata،¦ala- yang masih jauh dari jangkauan kebanyakan kaum muslimin di kala mereka mengucapkan, "Ihdinashshiraatal mustaqim (Ya Allah Tunjukilah kami jalan yang lurus)". Sehingga di sini dapat dikatakan bahwa firman-Nya yang berbunyi, artinya, "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus" yang ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam ini merupakan petunjuk berupa penerangan dan penjelasan saja, adapun firman-Nya yang artinya, "Sesungguh nya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (QS. Al-Qashash: 56), maka arti dari petunjuk pada ayat ini adalah petunjuk taufiq berupa amal perbuatan. Maka Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam tidak bisa memberi petunjuk taufiq kepada seseorang guna melakukan amal shalih selamanya. Jika memang Beliau mampu, niscaya Beliau akan dapat memberi petunjuk kepada paman beliau Abu Thalib, yang mana Beliau telah mengusahakannya sampai Beliau bersabda kepada pamannya itu di saat-saat menjelang kematiannya, "Wahai paman, katakan Laa Ilaaha Illallah suatu kalimat yang aku akan berhujjah bagimu dengan kalimat itu di sisi Allah.،¨ Namun apa boleh buat apabila telah mendahuluinya suatu kalimat atau ketetapan dari Allah subhanahu wata،¦ala, bahwa ia merupakan penghuni neraka -kami berlindung kepada Allah dari adzab api neraka- maka ia pun tidak mengucapkan untaian kalimat syahadatain bahkan pernyataan akhirnya mengindikasikan bahwa ia masih memeluk agama Abdul Muthalib (bapaknya). Meskipun begitu yang terjadi, tapi Allah subhanahu wata،¦ala mengizinkan Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam untuk memberikan syafaat bagi pamannya itu bukan lantaran ia adalah masih pamannya sendiri, namun tiada lain karena ia telah bertindak melindungi Nabi shallallahu ،¥alaihi wasallam dan Agama Islam, maka beliau pun telah memberi syafa،¦at di dalam adzab. Adapun ia (Abu Thalib) berada di dalam bara api neraka dan ia di atas dua alas kaki, sedang otaknya mendidih karena panas keduanya, dan sesungguhnya dia ahli neraka yang mendapatkan seringan-ringan adzab. Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam bersabda, "Kalaupun bukan karena aku (syafa'at beliau, red), maka niscaya ia berada di dalam kerak api neraka". (HR. al-Bukhari dalam Kitab Manaqibul Anshar, bab qishshatu Abi Thalib, Fath al-Baari 7/193. Dan Muslim dalam Kitabul Iman) Saya berpendapat, bahwa apabila kita ucapkan di dalam do'a qunut, "Ya Allah berilah kami petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk." Maka pada hakikatnya kita meminta dua macam petunjuk yaitu petunjuk berupa ilmu dan petunjuk berupa amal/perbuatan. Adapun ungkapan, "Sebagaimana mereka yang telah Engkau beri petunjuk", maka apa maksud dari ungkapan ini? Padahal kalau mau menyingkatnya dengan, "Ya Allah berilah petunjuk kepada kami" sudah tersirat maksud dari permohonan do'a itu, namun mengapa harus disertai "sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk", yaitu agar kalimat itu menjadi bagian dari "tawassul"(perantara) untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan yang Allah subhanahu wata،¦ala berikan kepada mereka yang telah memperoleh petunjuk-Nya agar Ia melimpahkannya juga kepada kita melalui petunjuk tersebut. Dengan arti lain sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ya Allah suatu petunjuk karena itu merupakan sebesar-besar rahmat, kebijaksanaan, serta keutamaan-Mu, maka sesungguhnya Engkau yang telah memberikan petunjuk kepada seluruh insan, maka berilah petunjuk kepada kami sebagaimana mereka yang telah Engkau beri petunjuk. (Sampai di sini penjelasan Syaikh al-Utsaimin) Oleh karena itu seorang muslim tidak akan pernah merasa bosan untuk selalu minta hidayah (petunjuk) kepada Allah subhanahu wata،¦ala, baik petunjuk berupa ilmu (hidayah irsyad) dan petunjuk untuk melaksanakan ilmu tersebut (hidayah taufiq). Sebab kalau kita bertanya pada diri kita, "Apakah kita mengetahui seluruh ilmu dan kebaikan tanpa kecuali, maka tentu dengan jujur kita akan menjawab tidak, apalagi kalau ditanya apakah kita sudah megerjakan seluruh ilmu dan kebaikan tersebut tanpa kecuali? Begitu juga kalau kita tanyakan apakah kita mengetahui seluruh keburukan tanpa kecuali tentu kita akan menjawab tidak, dan lebih-lebih kalau ditanya apakah kita mampu menjauhi seluruh keburukan tersebut tanpa kecuali, maka kita semua akan berkata tidak.
(Sumber: Duruus Wal Fatawa Al Haram Al Makky, jilid 1, edisi terjemah "Syarah Doa Qunut", Pustaka Islam Tadabbur)

Dé Luain 7 Iúil 2008


Undang-undang Islam hanya sesuai di negara Arab?

Saya tertarik dengan satu kolum soal jawab yang disiarkan oleh sebuah akhbar terkemuka, dan bersama seorang Ulama' terkemuka tanah air..Subahnallah, isinya begitu menari untuk kita kongsi bersama...

SOALAN: Di Malaysia, masyarakatnya majmuk, terdiri daripada pelbagai suku kaum dan agama. Rasionalnya undang-undang yang sedia ada paling sesuai bagi negara majmuk seperti Malaysia. Ada pun undang-undang Islam hanya sesuai untuk orang-orang Arab di negeri Arab, yang kebanyakannya terdiri daripada satu bangsa, tidak seperti kita. Inilah yang selalu menjadi perbualan yang sering dibangkitkan, apa pandangan Dato'? - TARMIZI WONG ABDULLAH, Seri Kembangan -->

JAWAPAN: Islam bukan untuk orang Arab sahaja, meskipun pada mulanya diturunkan dalam masyarakat Arab.
Islam sebenarnya untuk semua insan, ia risalah sejagat.
Nabi Muhammad s.a.w. tidak diutus untuk satu-satu kaum sahaja, malahan untuk semua manusia.
Allah berfirman (mafhumnya): "Dan tidak Kami mengutusmu (wahai Muhammad) melainkan untuk umat manusia seluruhnya..." (Surah Saba', ayat 28)
Rasulullah s.a.w. sendiri pernah bersabda (mafhumnya): "Saya diutuskan untuk sekalian manusia."
Dalam hadis yang lain baginda menyebut (mafhumnya): "Bahawasanya saya adalah rahmat Allah yang dihadiahkan kepada kalian."
Muhammad adalah Rasulullah terakhir, Nabi akhir zaman, selepas baginda tidak ada lagi Nabi dan Rasul.
Soalan anda bertitik tolak daripada masyarakat majmuk sebagai landasan untuk menyatakan bahawa Islam tidak boleh diterima sedangkan, hakikatnya masyarakat majmuklah yang menjadi pilihan Allah untuk melahirkan agama-Nya.
Islam lahir dan berkembang dalam masyakarat majmuk, sama ada masyarakat Makkah ataupun Madinah.
Ini bukanlah bererti masyakat majmuk yang berlainan agama itu mesti memeluk agama Islam. Tidak!
Mereka dibebaskan atau diberi kebebasan untuk beramal dengan agama mereka sendiri.
Masyarakat yang wujud sebelum kedatangan Islam, adalah masyarakat yang berpecah belah, setelah mereka menerima dan hidup di bawah naungan Islam, mereka menjadi aman dan bersatu padu.
Daripada permusuhan mereka memupuk persaudaraan, daripada memakan harta secara tidak jujur kepada penuh kejujuran, daripada berbencian kepada berkasih sayang, daripada kemunduran kepada kemajuan, dalam erti kata yang sebenar.
Inilah yang Allah sebutkan dalam al-Quran (mafhumnya): "Dan berpegang teguhlah kamu sekalain dengan tali Allah (agama Islam), dan janganlah kamu berpecah belah; dan ingatlah nikmat Allah ke atas kamu ketika kamu bermusuh-musuhan (semasa jahiliah), lalu Allah menyatukan di antara hati-hati kamu (sehingga bersatu padu dengan nikmat Islam), maka jadilah kamu dengan nikmat Allah itu bersaudara mara..." (Surah Ali 'Imran ayat 103)
Sekiranya anda berpegang kepada situasi di negara kita dengan keadaan yang kita berada sekarang ini, sudah cukup dan selesa untuk orang-orang seperti anda yang berkemungkinan tidak pernah bermasalah.
Tetapi mengapa anda tidak merenung situasi yang orang ramai hadapi sekarang ini, di mana keselamatan akidah terancam, pegangan manusia kepada agamanya berkecamuk dan bercelaru.
Nyawa manusia telah disia-siakan. Berlaku bunuh membunuh, kesihatan akal manusia bercelaru akibat mabuk, manusia hilang kewarasan, hatta untuk membuat perhitungan baik burukpun bercelaru.
Maruah manusia jelas tergadai dan hilang harga diri. Apatah lagi apabila anda melihat gelagat muda mudi yang hanyut, meskipun ada yang baik.
Harta benda yang dimangsakan oleh perompak, pencuri dan penipu. Indeks jenayah dalam semua kes terus melonjak, tidak ada petanda hal-hal sedemikian itu boleh reda.
Hal-hal ini berlaku antara sebabnya ialah kerana undang-undang yang ada tidak berjaya membendung dan memperbaiki penyakit masyarakat yang berlaku.
Cuba anda fikirkan pula hal-hal negatif ini tentulah cuba ditangani oleh pihak berkuasa dengan tindakan dan pelbagai cara, termasuk dengan mengadakan pusat pemulihan, atau dengan menangkap serta menghukum penjenayah di mahkamah.
Tetapi semua yang berlaku, penyakit cuba diubati, tetapi tidak dilihat kesungguhannya, malah penyakit itu semakin hari semakin melebar dan teruk.
Mengapakah tidak diusahakan ubat lain yang setidak-tidaknya dilihat sebagai suatu alternatif bagi mengubati penyakit-penyakit yang sedia ada.
Kita adalah makhluk ciptaan Allah, Allah Maha Mengetahui kekuatan dan kelemahan makhluk ciptaan-Nya. Dia tahu penyakit yang akan dihidapi dan Allah menyediakan ubat untuk yang dicipta-Nya.
Dia lebih mengenali manusia dan mengetahui atur cara atau manual yang perlu mereka ikut untuk mengatasi masalah kehidupan.
Kerana itulah Allah SWT menurunkan agama-Nya dan peraturan-peraturan-Nya, bukan sahaja masyakat Islam, malah untuk manusia keseluruhannya.
Dengan kebijaksanaan Allah undang-undang-Nya diturunkan, Kitab-Nya diketengahkan dan peraturan-peraturan-Nya dipaparkan, guna untuk keselamatan umat ini di dunia hingga ke akhirat.
Oleh yang demikian, masyarakat majmuk bukan sebab Islam tidak boleh diterima, kerana Islam itu boleh memaparkan dan menawarkan kelebihan nyata untuk kepentingan insan. Wallahu a'lam. -